ilustrasi CatCalling. ©2021 Infosatu.co.id
JAKARTA, Infosatu.co.id - Catcalling adalah salah satu bentuk pelecehan seksual di ruang publik yang paling sering terjadi. Masyarakat yang masih menormalisasi hal ini dan menganggapnya sepele, turut menjadi penyebab mengapa fenomena cat calling masih langgeng terjadi.
Salah satu public figure yang aktif menyuarakan untuk melawan pelecehan seksual adalah Cinta Laura. Aktris berdarah Jerman-Indonesia ini membagikan pengalamannya mengalami catcalling setelah menghadiri sebuah acara beberapa waktu lalu.
Tindakan yang dilakukan Cinta Laura untuk melawan pelaku adalah dengan menghampirinya dan mengancam merekam wajah pelaku untuk dilaporkan. Nyatanya, pelaku pun takut dan bergegas pergi tidak lama setelahnya.
Apa yang dilakukan oleh Cinta Laura dalam melawan pelaku cat calling tentu bisa menjadi kiat bagi siapapun yang juga mengalami pengalaman serupa.
Sebagai tambahan, perlu diingat bahwa keselamatan korban juga harus diutamakan. Korban harus memastikan situasinya aman untuk melawan.
"Selalu liat situasi, cat calling itu sedikit tricky karena bisa terjadi di manapun. Bahkan di kantor kita sendiri pun bisa gitu kan, atau di sekolah kita. Selalu liat situasi, apa situasi yang aman atau nggak," tutur Bunga Astiti, Direktur Yayasan Samahita Bandung, sebuah komunitas anti kejahatan seksual, pada program eLife, Jumat (28/05/2021).
Bunga menuturkan bahwa apabila keadaan memang memungkinkan korban untuk melawan atau menegur pelaku, maka lebih baik dilakukan. Akan tetapi, jika keadaan berkata sebaliknya, Bunga menyarankan untuk cari pertolongan.
"Kalau situasinya nggak memungkinkan untuk negur di tempat, mungkin yang bisa kita lakukan ya lari, atau misalnya telepon seseorang, kalau misalnya bawa HP. Kalau nggak ada HP ya kita cari keramaian, cari di mana kita bisa cari pertolongan karena ada orang lain," jelasnya.
Tindakan cat calling seringkali dianggap remeh dan dinormalisasi, sehingga korban justru merasa bahwa rasa tidak nyaman yang diakibatkan oleh catcalling ini seakan tidak valid.
Meski demikian, perlu digarisbawahi bahwa cat calling bukanlah bentuk ekspresi pujian, melainkan pelecehan. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk turut melawan budaya cat calling atau pelecehan seksual apapun di ruang publik.
Apa Itu Catcalling?
Catcalling merupakan Pelecehan verbal, Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat menjelaskan, catcalling merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual dalam bentuk kekerasan verbal atau kekerasan psikis.
"Terdapat nuansa seksual dalam ucapan, komentar, siulan, atau pujian, kadang-kadang disertai kedipan mata. Korban merasa dilecehkan, tak nyaman, terganggu, bahkan terteror," kata Rainy Hutabarat belum lama ini, Minggu (07/02/2021).
Pujian atau sapaan bernuansa seksual, selama ini dianggap biasa saja. Padahal, perilaku semacam ini merupakan salah satu bentuk pelecehan.
Catcalling merupakan bentuk pelecehan seksual di ruang publik, biasanya dilakukan di jalanan atau fasilitas umum lainnya.
Menurut Rainy, ada pengaruh relasi kuasa pada perilaku catcalling.
"Pelaku merasa berada pada posisi superior sehingga berhak melakukan sesukanya tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain,"kata Rainy.
Pelakunya bisa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, sendiri atau beramai-ramai. Catcalling juga dapat dialami siapa saja tanpa pandang jenis kelamin. Akan tetapi, kata Rainy, korban terbanyak adalah perempuan.
"Walau laki-laki bisa jadi korban catcalling, namun korban terbanyak perempuan," kata dia.
Bukan karena penampilan
Dalam beberapa kasus pelecehan verbal, pakaian atau penampilan korban, kerap dijadikan alasan.
Rainy menegaskan, pandangan semacam ini adalah hal yang salah. Pada kasus catcalling yang dialami korban, yang mayoritas perempuan, dipandang sebagai objek seksual.
"Tubuh perempuan dipandang sebagai tubuh seksual yang membuat laki-laki tergoda," kata Rainy.
Rainy mencontohkan, kasus catcalling yang terjadi pada malam hari terhadap perempuan yang sendirian menunggu bus di halte. Ketika terjadi catcalling, korban justru disalahkan.
"Jadi (yang disalahkan) bukan pelaku yang mengenakan lensa patriarkis dalam memandang perempuan," ujar Rainy.
Rainy menegaskan, pelecehan tejadi bukan karena penampilan atau apa yang dipakai korban, tetapi memang kultur si pelaku pelecehan.
Ia juga menekankan, tindakan seperti ini tak bisa dibenarkan. Pada tingkatan tertentu, Rainy mengungkapkan, dampak catcalling dapat menimbulkan trauma berkepanjangan terhadap korbannya.
Korban jadi membatasi mobilitasnya jika tidak ditemani saat keluar rumah, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup dan menghambat perkembangan pribadinya.
"Segala bentuk pelecehan seksual tak boleh dibiarkan, apalagi atas nama perbuatan iseng, bila kita ingin membangun masyarakat tanpa kekerasan," tututp Rainy.
Editor: Redaksi