ilustrasi minuman beralkohol. ©2021 infosatu.co.id |
JAKARTA, Infosatu.co.id - Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, menuai reaksi penolakan. Desakan pencabutan menghujani aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tersebut. Sebab, dalam beleid itu, pemerintah secara khusus memberi syarat agar investor bisa menanamkan modal di bidang usaha industri minuman keras (miras).
Belum sempat berjalan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung mengambil sikap dengan mencabut lampiran Perpres yang melegalkan investasi minuman alkohol tersebut. Kepala Negara itu tak ingin ada kegaduhan. Apalagi dirinya sudah menerima banyak masukan dari para tokoh agama dan ormas.
"Bersama ini saya sampaikan saya putuskan lampiran perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol, saya nyatakan dicabut," kata Jokowi dalam akun youtube Sekretariat Presiden, Selasa (02/03/2021).
Aturan soal minuman alkohol memang tercantum pada lampiran III Perpres 10/2021. Di dalamnya memuat soal daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu. Bidang usaha minuman alkohol masuk di dalamnya. Di mana terdapat tiga jenis bidang usaha. Pertama industri minuman keras mengandung alkohol. Kedua industri minuman keras mengandung alkohol anggur. Ketiga industri minuman mengandung malt.
Ketiga bidang usaha tersebut memuat persyaratan sama. Untuk penanaman modal baru dapat dilakukan di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Dengan catatan. Harus memperhatikan budaya dan kearifan setempat. Sementara untuk penanaman modal di luar dari provinsi tersebut, perlu mendapat izin. Nantinya penetapan akan dilakukan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan usulan dari gubernur setempat.
Selain produksi minuman keras, pemerintah juga mengizinkan perdagangan eceran kaki lima menjual minuman keras atau beralkohol. Namun, ada syaratnya. Jaringan distribusi dan tempat harus disediakan secara khusus.
Perpres ini bertolak belakang dengan aturan sebelumnya. Industri minuman keras saat itu masuk ke dalam daftar negatif investasi (DNI). Hal ini tertuang di dalam Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Beleid itu memuat 20 daftar bidang usaha tertutup. Termasuk soal industri miras.
Sementara Perpres 10/2021 hanya mengatur persyaratan investasi tertutup sebanyak enam bidang usaha. di antaranya adalah budidaya industri narkoba, segala bentuk perjudian, penangkapan spesies ikan yang tercantum dalam Appendix atau CITES, pengambilan atau pemanfaatan koral dari alam, industri senjata kimia, dan industri bahan kimia perusak ozon. Dengan begitu, pemerintah menetapkan industri minuman keras sebagai daftar positif investasi (DPI) terhitung sejak tahun ini.
Meski demikian, pemerintah tetap mengatur arus investasi di sektor industri miras. Pada ada Pasal 6 ayat (1) Perpres 10/2021, dinyatakan bahwa bidang usaha dengan persyaratan tertentu merupakan bidang usaha yang dapat diusahakan oleh semua penanam modal. Baik investor asing, domestik, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Hanya saja, penanam modal itu wajib memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, persyaratan penanaman modal untuk penanam modal dalam negeri. Kedua persyaratan penanaman modal dengan pembatasan kepemilikan modal asing. Serta persyaratan penanaman modal dengan perizinan khusus.
Untuk investasi asing pemerintah tetap melakukan pengetatan. Investor luar hanya dapat melakukan kegiatan usahanya dalam skala besar dengan nilai investasi lebih dari Rp10 miliar di luar tanah dan bangunan. Selain itu, investor asing wajib berbentuk perseroan terbatas (PT) berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Reaksi Penolakan
Ketua Komisi Dakwah MUI, Cholil Nafis meminta agar Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang melegalkan investasi dalam minuman keras agar dicabut. Dia menilai, aturan tersebut tidak membuat masa depan Indonesia semakin baik.
"Saya pikir harus dicabut kalau mendengarkan pada aspirasi rakyat karena ini tidak menguntungkan untuk masa depan rakyat, mungkin untung investasi iya, tapi mudaratnya untuk umat iya," katanya dalam pesan singkat, Senin (1/3).
Dia menerangkan, MUI pada 2009 juga sudah mengeluarkan Fatwa nomor 11 tentang hukuman Alkohol dan minuman keras. Dalam fatwa tersebut menjelaskan, hukum minuman tersebut adalah haram. MUI juga telah merekomendasikan pemerintah agar melarang minuman beralkohol di tengah masyarakat, yaitu dengan memberikan izin pendirian pabrik dan produksi hingga perdagangan.
"Oleh karena itu jelas di sini, menurut fatwa MUI, kita menolak investasi miras meskipun dilokalisir menjadi 4 provinsi saja," jelas Cholil.
Dia mengungkapkan, bukan hanya persoalan menolak karena Islam tetapi dapat mempengaruhi kepentingan bangsa. Sebab menurut dia dapat merusak akal. Sementara persaingan pada sumber daya manusia saat ini mulai meningkat. Jangan sampai pemerintah malah meracuni otak sehingga merusak generasi akan datang. "Sekiranya bisa dihilangkan ya dihilangkan dan dihapuskan, oleh karena itu tidak bisa atas kearifan lokal, atau sudah lama ada, kalau itu merusak pada rakyat kita," ujar Cholil.
Dia juga membeberkan dampak negatif dari minuman tersebut pun terlihat. Salah satunya kematian yang meningkat di seluruh dunia. "Orang yang mati karena miras seluruh dunia itu 2016 penelitiannya lebih dari 3 juta, berarti lebih dari banyak daripada orang yang mati karena covid. 70% di Makassar data kepolisian kematian karena miras, mabuk itu ya yang meninggal karena mabuk," tutupnya.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menilai, Perpres tersebut secara keseluruhan dapat mendorong investasi yang lebih berdaya saing, sekaligus pengembangan bidang usaha prioritas.
"Kalau dibandingkan dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2016, ada 515 bidang usaha yang tertutup. Artinya, dia lebih ke orientasi pembatasan bidang usaha. Dengan Perpres yang baru, kita ubah cara pikirnya, lebih berdaya saing dan mendorong pengembangan bidang usaha prioritas," katanya.
Regulasi ini juga mengatur enam bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal yaitu budi daya/industri narkoba, segala bentuk perjudian, penangkapan spesies ikan yang tercantum dalam Appendix/CITES, pengambilan/pemanfaatan koral alam, industri senjata kimia dan industri bahan kimia perusak ozon.
Penolakan lain datang dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Secara tegas partai tersebut menolak rencana pemerintah untuk membuka pintu bagi investasi industri minuman keras. PPP menilai investasi miras lebih banyak buruknya ketimbang manfaat.
"Rencana pemerintah untuk membuka investasi industri miras perlu dipertimbangkan untuk tidak diberlakukan. Mengingat mudharatnya jauh lebih besar dari sekedar kepentingan profit. Masa depan anak cucu kita bersama akan terancam kalau sampai ini dilegalkan," kata Sekretaris Fraksi PPP DPR Achmad Baidowi, Jumat (26/2).
Achmad Baidowi yang akrab disapa Awiek mengungkit meninggalnya warga Jepang akibat minuman keras. Kemudian, baru-baru ini ada peristiwa polisi menembak tiga orang setelah meneguk minuman keras. Salah seorang di antara tiga korban tewas akibat tembakan itu adalah anggota TNI.
"Kegaduhan yang diakibatkan minol ini seakan-akan terus menerus mencoreng nama baik Indonesia di mata dunia, mulai komentar Dubes Jepang hingga tercorengnya aparat penegak hukum," ucapnya.
Menurutnya, jika hal itu dibiarkan masyarakat akan tidak percaya kepada pemerintah. Sebab, dampak buruk dari minuman keras yang pelan namun pasti akan merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Oleh karena itu sejak periode dulu Fraksi PPP mengusulkan untuk segera disahkan RUU Larangan Minuman Alkohol. Kami memandang perlunya regulasi ini untuk menghindari kegaduhan dan banyaknya korban nyawa yang diakibatkan oleh miras," tuturnya.
Menurutnya, dampak miras ke depan akan semakin parah. Tidak tertutup kemungkinan hilangnya nyawa anak muda karena miras. Dia memaparkan, berdasarkan data WHO tahun 2016 sudah ada 3 juta lebih orang di dunia meninggal akibat minuman beralkohol. "Peristiwa ini bukan hanya isapan jempol semata tapi nyata dampaknya di depan mata kita semua," ujar Wakil ketua Baleg DPR ini.
Reaksi penolakan dari PPP muncul setelah pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Aturan ini membuka pintu investasi untuk industri minuman keras sampai eceran.
Awiek menegaskan bahwa PPP sama sekali tidak anti investasi. Namun, investasi didukung jika tidak merusak. Pihaknya juga mengakui adanya kearifan lokal di sejumlah daerah yang membutuhkan miras.
"Namun sebaiknya pengaturannya terlebih dahulu dalam bentuk UU, yang mana di dalamnya juga memberikan pengecualian penggunaan miras untuk kepentingan medis, adat, maupun ritual," tutupnya.