Ilustrasi Kasus Narapidana Korupsi Bisa Ikut Pilkada 2020. (Foto: kabarkorupsi.com) |
JAKARTA, KabarKorupsi.Com - Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan dalam Pilkada 2020, telah sesuai peraturan dan tak bertentangan dengan Undang-Undang. Demikian dinyatakan, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar.
PKPU tentang pencalonan dalam Pilkada 2020 itu tercatat dalam PKPU Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang ditetapkan pada 2 Desember 2019.
"PKPU sesuai dengan dengan peraturan dan tak bertentangan dengan undang-undang sebagaimana hasil Rapat Dengar Pendapat antara KPU RI, Bawaslu RI Pemerintah dan Komisi II DPR beberapa waktu lalu," kata Bahtiar melalui keterangan tertulisnya, Sabtu, 7 Desember 2019.
Dalam Pasal 4 soal persyaratan calon kepala daerah, tidak ada larangan bagi mantan terpidana korupsi.
Penambahan norma Pasal 3A ayat (3) dan ayat (4) oleh KPU, dengan menggunakan frasa mengutamakan bukanlah norma persyaratan dan tidak mengikat, norma yang hanya bersifat imbauan.
Frasa mengutamakan, kata dia, bukan berarti melarang calon kepala daerah berlatar belakang mantan narapidana korupsi mengikuti seleksi calon kepala daerah yang dilakukan oleh parpol. "Hal sepenuhnya adalah kewenangan partai politik," ujarnya.
Ia menuturkan bila larangan pencalonan mantan napi kasus korupsi dimasukkan ke dalam PKPU, maka ketentuan tersebut melebihi amanat yang tertuang dalam Pasal 7 ayat 2 huruf g dan penjelasan pasal 7 ayat 2 huruf g Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Ilustrasi Kasus Narapidana Korupsi Bisa Ikut Pilkada 2020. (Foto: moeslimchoice) |
"Pembatasan hak seseorang berdasarkan pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 harus dilakukan melalui undang-undang, bukan melalui peraturan teknis," ujarnya.
Ketentuan tersebut juga telah dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XIII/2015 di mana mantan terpidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah sepanjang mengemukakan secara terbuka dan jujur kepada publik sebagai mantan terpidana.
Isi Pasal 4 ayat 1 huruf h tersebut masih sama dengan aturan sebelumnya yakni PKPU Nomor 7 Tahun 2017 yang hanya mengatur larangan bagi dua mantan terpidana, yang berbunyi “Bukan Mantan Terpidana Bandar Narkoba dan Bukan Mantan Terpidana Kejahatan Seksual terhadap Anak.”
Dalam pasal 4 PKPU Nomor 18 Tahun 2019, kata dia, tidak ada syarat pencalonan bagi bukan mantan narapidana korupsi. Artinya, mantan napi kasus korupsi tetap boleh mencalonkan diri sepanjang diusulkan Parpol sesuai ketentuan Pasal 7 huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016, yang berbunyi "tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap." seperti dikutip dari kabarkorupsi.com.
Atau, kata dia, bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
"Pemahaman tentang PKPU Nomor 18 tahun 2019 perlu disebarluaskan kepada publik agar masyarakat memahami substansinya dan adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2020 mendatang," ucapnya.
Komisi Pemilihan Umum sebelumnya tetap ingin memasukkan kembali aturan pelarangan narapidana koruptor mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah. Hal itu karena dua alasan, seperti yang dikatakan Ketua KPU, Arief Budiman. Pertama, KPU khawatir terpidana korupsi tidak bisa menjalankan amanat karena mesti menjalani proses peradilan.
Ilustrasi Kasus Narapidana Korupsi Bisa Ikut Pilkada 2020. (Foto: moeslimchoice) |
Arief mengatakan boleh saja orang bilang untuk menyerahkan saja kepada pemilih. Toh, pemilih nanti akan memilih yang terbaik. Tapi faktanya, kata Arief, ada calon kepala daerah yang sudah ditangkap, ditahan, dan dia tidak akan bisa menggunakan hak pilih tapi dia menang Pemilu.
Akhirnya, orang tersebut tidak bisa memimpin karena dirinya harus menjalani proses peradilan. Sehingga ditunjuk orang lain yang memimpin daerah tersebut. "Itu fakta. Menyerahkan kepada masyarakat (akibatnya) seperti itu," ujar Arief.
Alasan kedua mengapa KPU 'ngotot' ingin agar terpidana korupsi tidak ikut mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah adalah karena KPU tidak ingin terpidana yang melakukan tindak pidana korupsi, terpilih lagi menjadi kepala daerah sehingga ia melakukan tindak pidana korupsi lagi.
Editor: Redaksi